Minggu, 08 Januari 2012

“KOTA HIJAU SEBAGAI UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM di Jakarta (Empowerment For Green Cities) ”



LATAR BELAKANG DAN KONSEP KOTA HIJAU

Saat ini dunia sedang dihadapkan pada permasalahan degradasi kondisi lingkungan. Pencemaran air, udara dan tanah tidak terelakkan lagi seiring perkembangan pembangunan di seluruh dunia terutama di perkotaan. Urbanisasi hal yang terjadi di sebagian besar kota-kota di dunia. Penyebabnya antara lain tidak seimbangnya pembangunan antara desa dan kota. Daya dukung kota-kota semakin lemah dalam memfasilitasi kebutuhan warga kota. Polusi udara dan pencemaran air serta tanah, pemenuhan kebutuhan warga untuk bisa hidup sehat, nyaman dan sejahtera, menjadi persoalan yang perlu dicari solusinya oleh semua pihak.
Seiring jalannya pembangunan, dalam upaya memberikan kenyaman dan lingkungan sehat bagi warga kota, Konsep Green City dapat menjadi solusi bagi pelaku pembangunan Kota Hijau  (Green city), suatu jargon yang sedang dicanangkan di seluruh dunia agar masing-masing kota memberi kontribusi terhadap penurunan emisi karbon untuk penurunan pemanasan global. Kota  hijau merupakan simbol kedekatan alam dengan pembangunan. Karakteristik dan kerentanan alam menjadi dasar terhadap konsep pembangunan.
Begitu pula dengan Indonesia, yang saat ini telah mencanangkan program kota hijau yang berbasiskan masyarakat (empowerment), melalui programnya yaitu P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau) yang dalam implementasinya dimuat dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten dan Kota. P2KH ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sekaligus responsif terhadap perubahan iklim yang saat ini sedang menjadi isu dunia tersebut.
Apa itu Kota Hijau? Kota hijau atau dengan kata lain yaitu Kota yang ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).
Kota Hijau memiliki 8 atribut dalam hal prosesnya yaitu: Green Planning and Desain, Green Community (Peran serta aktif masyarakat), Green Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green Waste, Green Openspace.
Green City pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu ada perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan. Perubahan pola pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah lingkungan.
Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia, dituntut menjadi kota hijau untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim yang sudah mulai dirasakan di berbagai belahan dunia. Dengan populasi penduduk yang sudah mencapai 9,6 juta jiwa, ditambah lagi komuter ke Jakarta sebanyak 2,5 juta di siang hari, Jakarta 'dipaksa' menjadi kota yang ramah lingkungan, namun apakah mungkin??? 
 
KONDISI EKSISTING JAKARTA

Kondisi eksisting wilayah Jakarta berada di dataran rendah di bawah muka laut pasang, dengan kondisi topografi yang cenderung landai, infrastruktur yang sangat padat, serta pertumbuhan penduduk yang sangat pesat terutama di Jakarta Utara.
Grafik
Peruntukan Lahan di Jakarta Utara
Sumber: Jakarta Utara Dalam angka 2008

Untuk memenuhi kebutuhan RTH sebesar 30 % di Jakarta sulit untuk terealisasikan terlebih dari kondisi Jakarta saat ini dengan luas lahan yang tidak terbangun hanya sedikit, dan cenderung telah terbangun dengan kegiatan perkantoran, industry idan dominasi perumahan yang sangat tinggi, seperti yang ada pada tabel di atas.

Dengan komitmen inigin membuat Jakarta sebagai Kota Hijau yang diwujudkan dengan penambahan RTH dalam Raperda RTRW 2010-2030, yang dijelaskan dalam Raperda RTRW tersebut itu telah diatur RTH 30% di Kota Jakarta yang terdiri 14% RTH Publik dan 16% RTH Privat


PERMASALAHAN DI KOTA JAKARTA

  1. Lingkungan Jakarta semakin sesak oleh polusi udara. Kemacetan, banjir dan masalah lingkungan hidup semakin parah. Kepadatan penduduk, wilayah kumuh, kesenjangan sosial dan ekonomi, kriminalitas, terus mengancam penduduk Jakarta.
  2. Kegagalan DKI Jakarta  dalam hal pembangunan  yang diarahkan kepada kepentingan pemilik modal seperti pembangunan enam ruas jalan tol dan reklamasi pantai uatara Jakarta. Rencana itu tidak sejalan dengan konsep transportasi hijau, yang semestinnya mengedepankan aspek pembangunan transportasi massal seperti kereta api.
  3. Lemahnya sanksi terhadap pelanggaran yang dibuat oleh para pengusaha membangun infratruktur tanpa memperdulikan aspek lingkungan ataupun tanpa AMDAL.
  4. Perubahan iklim yang akan terjadi seperti kekurangan air bersih, malaria, DBD, Banjir, dan masalah kesehatan lainnya.

RENCANA AKSI DAN LANDASAN HUKUM
Dalam permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh ibukota kita saat ini, pasti dapat teratasi dengan melakukan startegi dalam penataan ruang, hal ini terkait dalam adaptasi dan upaya mitigasi yang wajib dilakukan oleh semua komponen stakeholder yang terkait baik pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri dapat langsung berpartisipasi dalam hal mitigasi terhadap perubahan iklim dengan peneraopan Kota Hijau. Dengan memperhatikan landasan hukum yang telah ada yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 7 Tahun 2007 tentang Sumberdaya Air, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan gedung.
Mewujudkan Indonesia menjadi Kota Hijau atau “Green Cities” dalam rangka menghadapi perubahan iklim, diperlukan kerjasama dari masyarakat dan pemerintah. Tindakan sebelumnya yang dimulai dari konsep, ditingkatkan menjadi aksi nyata bersama
Rencana aksi yang dapat dan mungkin dilakukan oleh Jakarta untuk melakukan penerapan sebagai Kota Hijau adalah  dukungan dan komitmen semua pihak dalam prosesnya, dengan menjalin kerjasama dengan Pemerintah, swasta, dan masyarakat, masyarakat perlu mengetahui pentingnya aspek penataan ruang untuk mewujudkan ruang yang nyaman. Dengan tema yang diusung merupakan kelanjutan dari tema awal yakni Planning For All dan Green City For Planning, menjadi Empowerment For Green Cities 2011 . 

1.   MEMILIH TRANSPORTASI HEMAT ENERGI
Hingga saat ini satu-satunya sistem transportasi ramah lingkungan massal yang tersedia – terutama di Jakarta – adalah kereta api listrik. Satu rangkaian kereta api listrik bisa menampung 1200 penumpang, setara dengan kapasitas 60 bis dan 600 motor, sehingga kereta menjadi moda transportasi dengan produksi gas rumah kaca terkecil. Konsumsi energi satu rangkaian kereta api listrik adalah 3 liter/km. Setiap penumpang hanya mengonsumsi energi 0,0025 liter/km, paling rendah dibanding moda transportasi massal yang lain.
Namun, layanan kereta api masih memerlukan banyak perbaikan. Gangguan sinyal dan kerusakan jaringan listrik masih sering terjadi. Semoga di layanan kereta api semakin baik tahun ini.

2.    MENGEMBANGKAN KOMUNITAS HIJAU DAN RAMAH LINGKUNGAN
Program terakhir ini sangat strategis. Semua lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, harus terlibat dalam program hijau dan memiliki agenda aksi lingkungan sendiri. Mulai dari inisiatif sederhana seperti penanggulangan sampah, hingga program sosialisasi, edukasi dan diskusi yang meningkatkan wawasan serta kesadaran untuk menjaga lingkungan. Komunitas masyarakat, dari strata terkecil yaitu keluarga, RT, RW dan desa juga harus dilibatkan. Semua unsur masyarakat ini harus bergerak menerapkan gaya hidup hijau dan ramah lingkungan.

3.    MENGURANGI EMISI DAN KONSUMSI ENERGI
Aktivitas pengurangan emisi bisa dilakukan melalui program reboisasi yang kini menjadi tren di kota-kota besar, termasuk di Jakarta. Semoga program penanaman sejuta pohon dan program berkebun terus berlanjut di 2012. Sementara program penghematan energi tergantung pada komitmen kita untuk menggunakan energi secara lebih bijaksana. Tidak hanya menghemat bahan bakar minyak kita juga dituntut untuk menghemat listrik.
Untuk itu, kurangi penggunaan kendaraan pribadi. Pilih moda transportasi personal yang lebih ramah lingkungan seperti berjalan kaki atau bersepeda. Matikan dan cabut peralatan listrik yang tidak terpakai.

4.   MENGURANGI SEGALA JENIS SAMPAH
Mengurangi segala jenis sampah bisa dilakukan dengan mengubah gaya hidup. Jangan buang sampah sembarangan. Lakukan daur ulang. Berhenti menggunakan kantong plastik dan bahan plastik. Beralih ke tas dan produk yang lebih ramah lingkungan. Hindari membeli minuman dalam botol, bawa sendiri botol Anda dari rumah.

Sabtu, 07 Januari 2012

Percepatan Pembiayaan Pembangunan Perumahan Dengan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)


Latar Belakang??
Perumahan merupakan kebutuhan pokok pada saat ini. Terlebih lagi ketika saat ini pertumbuhan penduduk semakin meningkat dan urbanisasi juga semakin meningkat. Kota dituntut untuk menyediakan lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal manusia.
Dinyatakan Indonesia ke depan membutuhkan sekitar 13 juta rumah baru bagi masyarakat. Data tersebut diperoleh berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu.
Permasalahan penyediaan perumahan di perkotaan secara empiris dapat tergambar dari penghitungan backlog (walaupun penghitungan ini tidak dapat menjadi rujukan yang jelas), dimana berdasarkan data yang diambil dari Rencana Strategis Kemenpera 2010- 2014 sepanjang periode 2005 – 2009 kekurangan rumah mencapai 7,4 juta unit. Besarnya nilai kekurangan penyediaan rumah untuk MBR secara spesifik disebabkan karena kendala pada pembiayaan pembangunan. Kendala ini secara holistik dihadapi oleh Pemerintah (yang saat ini masih berperan sebagai provider perumahan untuk MBR) dan juga masyarakat yang tidak mampu untuk mengakses elemen – elemen pembentuk rumah baik lahan (karena lahan perkotaan yang mahal dan bergantung pada prinsip locational land rent), biaya konstruksi, bahan bangunan, dan sebagainya. Selain itu, kondisi ini kemudian juga diperparah dengan terjadinya misplaced philatropism dalam arti bahwa perumahan yang disediakan oleh pemerintah untuk golongan menengah kebawah (berupa Rusun maupun RSH) tidak betul – betul dinikmati mereka (non target group), melainkan dinikmati oleh kelompok bukan sasaran dan merupakan sebagian pemecahan akan kebutuhan perumahan di kota.
Diperlukan metode dalam proses pembiayaan pembangunan perumahan tersebut agar dalam prosesnya dapat mempermudah terealisasinya pembangunan perumahan, metode FLPP muncul sebagai suatu metode dalam pembiayaan perumhan untuk membantu tersedianya dana murah jangka panjang untuk membangun perumahan rakyat.

Apa itu FLPP??
FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) merupakan kebijakan baru Kemenpera sebagai pengganti subsidi bunga cicilan perumahan yang selama ini kita kenal. Kebijakan ini antara lain bertujuan agar terus tersedianya dana murah jangka panjang untuk membangun perumahan rakyat. Seperti diketahui pada tahun ini pemerintah menargetkan penyaluran FLPP bagi 210.000 unit rumah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp4,5 juta per bulan. 
Secara kuantitatif FLPP akan memfasilitasi penerbitan 24.000 unit KPR sejahtera tapak (RSH) dan 1500 unit KPR sejahtera susun. Selain itu menurut beberapa informasi, dilakasanakannya FLPP ini akan dapat menyediakan sumber dana perumahan yang murah dan jangka panjang (suku bunga single digit) bagi masyarakat. Berkaitan dengan uang muka maka FLPP akan mematok minimal 10 % dari total harga rumah sejahtera tapak senilai 50 juta dan 144 juta untuk Rusunami. Dengan demikian FLPP ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli yang pada akhirnya akan membantu masyarakat berpendapat rendah dan menengah untuk mendapatkan rumah murah.

Bagaimana metodenya dalam pembiayaan pembangunan??
Dana ini dikelola Pusat Pembiayaan Perumahan dengan menggunakan metode blended financing dimana dana dari APBN dicampur dengan sumber dana perbankan dan sumber lain. Hasil pencampuran dana ini akhirnya menghasilkan dan dengan bunga rendah.
Dibanding pola subsidi lama FLPP memiliki beberapa kelebihan. Selain akan tersedia dana murah jangka panjang  uang pemerintah juga tidak hilang karena dana APBN yang dikeluarkan tetap dikembalikan melalui cicilan yang dilakukan masyarakat. Adanya dana FLPP ini maka masyarakat yang membeli  RSH akan mencicil dengan bungan rendah, berkisar 8-9 persen saja. Bungan cicilan rendah ini akan berlaku tetap hingga pembeli rumah melunasinya. keterjangkauan angsuran KPR bersubsidi diberikan secara terbatas selama masa subsidi yaitu 4 tahun hingga 10 tahun, optimalisasi pemanfaatan dana APBN sejalan dengan keuangan negara. Alasan lain yakni memerangi rezim suku bunga tinggi melalui penyediaan dana murah jangka panjang sampai dengan melembaganya Tabungan Perumahan Nasional (TPN) serta daya tarik bagi sumber daya lain untuk berperan dalam pembiayaan perumahan.
Dalam melakukan kebijakan ini kemenpera telah bekerjasama dengan beberapa bank swasta nasional serta Asosiasi Bank Pembangunan Daerah serta beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk melaksanakan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) juga telah menandatangani perjanjian kerjasama operasional (PKO) dalam rangka pengadaan perumahan dengan kredit kepemilikan rumah (KPR) melalui FLPP pada 4 bank nasional yakni Bank Tabungan Negara (BTN), BTN Syariah, Bank Bukopin dan Bank Negara Indonesia (BNI). 


Apa Permasalahannya dalam Penerapannya??
Pembiayaan rumah bersubsidi dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) diperkirakan tidak akan bisa berjalan optimal pada tahun ini, akibat minimnya daya dukung APBN. Pembiayaan rumah bersubsidi dengan skema FLPP akan sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa memiliki rumah, karena skema tersebut akan mampu menurunkan suku bunga perbankan sampai pada kisaran 8,15%-9,95% dengan tenor kredit selama 15 tahun. Namun, posisi kas BLU-PPP sampai saat ini hanya terisi Rp2,l triliun yang berasal dari pos FLPP pada tahun lalu sebesar Rp2,6 triliun, di mana Rp500 miliar dari jumlah itu sudah diserap perbankan.
Seperti diketahui pada tahun ini pemerintah menargetkan penyaluran FLPP bagi 210.000 unit rumah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp4,5 juta per bulan.  Anggaran FLPP tahun ini sebesar Rp3,57 triliun lebih besar dibandingkan tahun lalu Rp2,6 triliun. Sampai dengan bulan ini.
Selain itu, dengan 9 bank pembangunan daerah (BPD) yaitu BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Utara Syariah, BPD Sumatera Selatan - Bangka Belitung, BPD Riau-Kepulauan Riau, BPD Riau-Kepri Syariah, Bank Nusa Tenggara Timur, Bank Kalimantan Timur, Bank Papua dan Bank Jawa Barat - Banten. 
Permasalahannya kurang berjalan optimal system pembiayaan perumahan nasional yang ada di Indonesia pada saat ini tergolong sebagai sistem pembiayaan perumahan yang belum lengkap dan belum terintegrasi. Dikatakan belum lengkap dan belum terintegrasi karena masih belum dijumpai keberadaan komponen-komponen tertentu, khususnya lembaga keuangan perumahan khusus untuk segmen menengah ke bawah dan lembaga sekunder perumahan yang duperlukan untuk membentuk mata rantai tersebut (Widiarto 2003).
Oleh karena itu integrasi yang memungkinkan sinergi pembiayaan perumahan anatara serkuit swasta dan pemerintah belum terjadi. Hal ini menyebabkan pembangunan perumahan mempunyai kapasitas yang terbatas, cenderung informal dengan konsekuensi lingkungan perumahan yang cenderung sub-standart, dan kurang dapat menjangkau golongan pendapatan menengah ke bawah. Ditambah dengan tidak stabilnya kelembagaan pemerintah untuk sektor perumahan dalam pergantian kabinet, memperkuat kelemahan sistem pembiayaan perumahan nasional.

Rekomendasi dan Saran

  1. Untuk mendukung skim pembiayaan dana tabungan perumahan, perlu adanya dukungan sinergis antara beberapa stakeholders seperti pengembangan (REI), Perbankan dan Pemerintah Pusat maupun daerah.
  2.  Untuk mengatasi masalah perumahan diperlukan sinkronisasi program serta sinergi antar lembaga. Selain itu, juga bergantung pada sejauh mana perhatian pemerintah daerah setempat untuk mendukung program perumahan di daerah.
  3.  Perlu suatu koordinasi yang matang antara kerjasama yang telah dilakukan oleh pemerintah dan swasta, agar FLPP tidak hanya sekedar metode saja namun dapat diaplikasikan langsung demi kesejahteraan rakyat.
  4. Perlu adanya transparansi proses keuangan yang jelas baik dari pihak swasta dan pemerintah, sehingga dalam prosesnya tidak terjadi kesalahpahaman sehingga tidak ada lagi terjadi pencairan dana yang terlambat akibat proses administratif atau yang lainnya yang harusnya dapat terselesaikan dengan cepat.

Sabtu, 15 Oktober 2011

PESISIR KITA RAWAN BENCANA !!
Nangroe Aceh Darussalam adalah salah satu kawasan pesisir yang pernah dilanda oleh tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 silam. Total korban mencapai ratusan ribu jiwa dan kehancuran fisik yang mencapai triliunan rupiah. Bencana ini tercatat sebagai bencana alam terbesar di dunia di awal abad 21, tidak mustahil bencana ini akan terjadi lagi di daerah yang sama atau di tempat lain.
Bencana tersebut pada dasarnya disebabkan oleh alam dan tindakan-tindakan manusia. Khusus untuk tsunami, dominan disebkan oleh alam, mengingat kita berada di di atas 3 lempeng besar yaitu Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik, serta satu lempeng kecil yaitu Lempeng Philipina. Pergeseran diantara lempeng tersebut dapat mengakibatkan proses gempa yang terjadi disuatu titik kedalaman dan menyebar sepanjang patahan/sesar, jika bidang patahan terjadi di dasar laut, kestabilan air laut akan terganggu secara vertical maupun horizontal Aceh berada di sekitar pertemuan 3 lempeng besar tersebut, yang memiliki kecepatan rata-rata 52 mm pertahun sehingga menyebabkan gempa tidak pernah berhenti. Gempa dengan kekuatan diatas 6,5 skala richter berpotensi tsunami di pesisir Nangroe Aceh Darussalam, terlebih Aceh memiliki kontur yang landai.
Pengelolaan bencana menjadi sangat kompleks bila dilihat dari seluruh aspek/dimensi. Oleh karena itu pengelolaan bencana mutlak diperlukan dengan tujuan utama adalah peningkatan kepedulian semua pihak berpartisipasi mengelola bencana . pengelolaan bencana secara keseluruhan membutuhkan sumber daya yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang manajemen bencana yang menyeluruh dan terpadu sehingga mampu menyadarkan dan meningkatkan kepedulian semua pihak untuk mereduksi damapak akibat bencana.
Dalam pengelolaan kawasan pesisir setidaknya harus mempunyai tiga fungsi yaitu mitigasi bencana, pengembangan ekonomi kawasan, dan perlindungan ekosistem, sehingga diharapkan sebuah pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
Ø  Mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan beberpa cara
1.       Melalui spatial palnning. Tata ruang yang baik dapat memperkecil resiko kerusakan dari bencana gempa dan tsunami. Karakteristik pesisir Aceh yang rawan gempa dan tsunami sudah seharusnya dielaborasi dalam kebijakan tata ruang pesisir dengan memberikan ruang khusus untuk penyangga (buffer zone). Kebijakan coastal setback ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari limpasan langsung gelombang besar maupun angin badai. Kawasan penyangga ini bisa diperuntukkan sebagai kawasan mangrove, hutan produksi atau hutan pantai lainnya sehingga akan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang penting bagi kesehatan ekosistem pesisir dan berbagai mata pencaharian masyarakat. Penetapan buffer zone mempunyai konsekuensi bahwa ruang tersebut harus bebas dari kegiatan konstruksi. Padahal banyak daerah yang akan dijadikan ruang penyangga merupakan kawasan pemukiman sebelum tsunami. Selain itu, keinginan sebagian korban untuk kembali ke rumahnya seperti sediakala. Pemerintah juga kesulitan untuk merelokasi penghuni pesisir korban tsunami ke tempat yang lebih aman karena alasan ketersediaan lahan dan dana. Kondisi ini memunculkan ide penataan desa yang menempatkan mitigasi tsunami sebagai pertimbangan. Village planning atau perencanaan desa menghasilkan sebuah tata desa sedemikian rupa sehingga apabila terjadi tsunami warga desa dapat menyelamatkan dirinya melalui jalan-jalan (escape route) yang mempermudah mencapai sebuah tempat yang aman (escape hill). Perencanaan desa ini mensyaratkan partisipasi aktif dari warga setempat.
2.       Selain kebijakan tata ruang, kesiapan warga dan informasi yang diterima warga pesisir tentang bencana tsunami memainkan peran paling besar dalam mereduksi korban jiwa. Karena itu, sistem pendeteksian dini (early warning system) yang telah di set-up di Banda Aceh perlu dikembangkan lagi, misalnya peringatan tersebut dapat langsung diterima dari setiap telepon genggam (HP) warga dengan waktu cepat sehingga warga masih mempunyai waktu sebelum tsunami mencapai pantai.
Ø  Pengembangan ekonomi kawasan dan perlindungan ekosistem
Pengembangan ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan pesisir akan menyebabkan rapuhnya keberlanjutan kesejahteraan (sustainable livelihood) masyarakat pesisir, terlebih Daya dukung mangrove di Aceh mencapai titik nadir akan menurunkan ketersediaan ikan di perairan pantai, terutama ketersediaan ikan yang bergantung langsung dengan mangrove. Untuk menghindari hal yang tersebut, perlu adanya pengurangan tekanan yang bersifat eksploitatif.
Pembangunan kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kegiatan utama rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam pengelolaan pembangunan ini, mutlak diperlukan komunikasi intensif antara stakeholder pesisir Aceh. Pelibatan masyarakat dan ilmuwan sangat penting guna mewujudkan pembangunan pesisir berkelanjutan, berbasis pada daya dukung lingkungan.
Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilaksanakan dengan berbagai bentuk dan tindakan yang mengarah pada pencegahan dan upaya meminimalkan dampak yang terjadi akibat bencana

Struktural:
-          pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir yang mencakup pada pembangunan jalan, sarana prasarana budidaya atau kegiatan ekonomi masyarakat yang lebih terkontrol atau terpadu dan bersifar antisifatif terhadap kemungkinan bencana yang terjadi.
-          Upaya mitigasi bencana tsunami dengan pelestarian alam seperti penanaman kembali hutan bakau yang telah rusak akibat tindakan tertentu, serta perlindungan terumbu karang.
-          Kemudian upaya mitigasi dengan buatan seperti pembangunan pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan besaran gelombang yang ada dan memperkuat desain bangunan pemukiman dan infrastruktur lainnya yang didesain agar lebih aman dari gempa dan tsunami.
-          Tidak kalah pentingnya membuat jalur evakuasi dengan kapasitas yang mampu menampung orang banyak dalam waktu singkat agar memudahkan dalam menyelamatkan diri.
Non-struktural
-          Kebijakan tata guna lahan kawasan pantai yang rawan bencana
-          Kebijakan tentang standarisasi bangunan permukiman serta infrastruktur sarana dan prasarana, kebijakan eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat pantai
-          Pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami seperti penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana, pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya bencana
Belajar dari Negara Jepang, Jepang merupakan Negara yang memiliki kerentanan terhadap bencana gempa dan tsunami sama dengan Indonesia. Seringnya Negara jepang mengalami bencana tersebut membuat pemerintah mengeluarkan UU Penanggulangan Bencana serta Panduan Rencana Penanggulangan Bencana yang berfokus pada pengurangan resiko. Bahkan setiap tanggal 1 September ditetapkan sebagai National Disaster Management Day. Dan dari tanggal 5 Agustus-30 September diselenggarakan Disaster Management Week. Kegiatan berupa seminar, lomba poster, pameran dan puncaknya 1 September dilakukan simulasi evakuasi (tanggap darurat) serentak di daerah kawasan pesisir rawan bencana.
1.     Jepang merupakan negara yang mempunyai manajemen bencana tercanggih. Bahkan, Jepang tidak cuma fokus pada mitigasi bencana, tapi juga terhadap pendidikan publik untuk kesiagaan bencana. Masyarakat harus berlatih terus menerus menghadapi bencana. Setiap semester ada pelatihan bencana. Persiapan dan penanggulangan bencana, ditata dengan baik sehingga menjadi bagian dari kebiasaan, budaya dan pengetahuan. Hal tersebut membuat orang jepang memiliki ketenangan saat bencana.
2.     Jepang punya early warning system (sistem peringatan dini) yang cukup bagus, bangunan tahan gempa, skala gempa serta aturan masing-masing di tiap wilayah. Contohnya ada wilayah batas 1 dan seterusnya yang menjadi aturan kawasan di mana penduduk tidak diperbolehkan tinggal. Jepang sudah menerapkan mitigasi struktural dengan membangun bangunan pantai sepanjang garis pantai yang rawan bencana tsunami, termasuk di wilayah yang saat ini dihantam bencana tsunami sendai 2011. Misal, pemecah gelombang khusus tsunami lainnya dibangun di Kamaishi dari tahun 1978 – 2008. Kedalaman bangunan ini mencapai -63 meter.
3.     Jepang menerapkan sistem pertahanan berlapis seperti yang dibangun di Sendai, yakni pemecah gelombang lepas pantai, dunes, tanggul, dan hutan pantai. Hutan pantai dipercaya dapat mereduksi hantaman tsunami.

EVLINA NOVIYANTI
Mahasiswi, PLANOLOGI, ITS-Surabaya